Pengaruh Berbagai Faktor Lingkungan Laut Terhadap Makrobentos

Lingkungan laut selalu berubah secara dinamik. Kadang-kadang perubahan ini berlangsung dalam waktu yang relatif cepat maupun lambat. Cepat atau lambatnya perubahan ini sama-sama mempunyai pengaruh, yakni kedua sifat perubahan tersebut akan mengubah intensitas faktor-faktor lingkungan. Perubahan apaun yang terjadi akan baik bagi suatu kehidupan dan buruk bagi kehidupan yang lain. Karena terus berubahnya lingkungan, maka makhluk hidupun selalu berubah.

Gerakan Air
Gerakan air laut ini sangat penting bagi berbagai kehidupan di laut baik itu biologis maupun non biologis. Gerakan air laut ini meliputi pasang surut, arus dan gerak gelombang.

a). Pasang Surut
Pasang surut adalah naik dan turunnya permukaan laut secara periodik selama suatu interval waktu tertentu. Pengaruh pasang surut yang paling jelas terhadap organisme dan komunitas daerah litoral yang menyebabkan terkena udara terbuka secara periodik dengan kisaran parameter fisik cukup besar.

Lamanya terkena udara terbuka merupakan hal yang paling penting karena pada saat itulah organisme laut akan berada dalam kisaran suhu terbesar dan memungkinkan mengalami kekeringan (kehilangan air). Semakin lama terkena udara, semakin besar kehilangan air diluar batas kemampuan dan semakin kecil kesempatan untuk mencari makan dan mengakibatkan kekurangan energi.


b). Arus
Arus laut permukaan merupakan pencerminan langsung dari pola angin yang bertiup pada waktu itu. Jadi arus permukaan ini digerakan oleh angin dan begitupun arus dibawahnya ikut terbawa. Arus dilapisi oleh permukaan laut berbelok ke kanan dari arah angin dan arus dilapisan bawahnya akan berbelok lebih ke kanan lagi dari arah arus permukaan.

Hal ini disebabkan adanya gaya cariolis (Cariolis Force), yaitu gaya yang diakibatkan oleh perputaran bumi. Jika terjadi divergensi atau pembuyaran arus permukaan maka akan terjadi upwelling, yakni naik massa air dari lapisan bawah laut kelapisan permukaan dan jika terjadi konvergensi atau pemusatan arus permukaan, maka akan menyebabkan downwelling, yakni turunnya massa air dari lapisan atas kelapisan bawah.


c). Gerak Gelombang
Gerakan gelombang mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap organisme dan komunitas dibandingkan dengan daerah laut lainnya. Gelombang yang terhempas ke pantai akan melepaskan energinya di pantai. Makin tingginya gelombang, maka makin besar tenaganya memukul pantai.

Ada tiga faktor yang menentukan besarnya gelombang yang disebabkan oleh angin yakni kuatan hembusan, lamanya hembusan dan jarak tempuh angin. Jarak tempuh angin ialah bentangan air terbuka yang dilalui angin. Sekali gelombang telah terbentuk oleh angin maka gelombang itu akan terus merambat sampai jauh.



Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut. Suhu air permukaan diperairan Indonesia umumnya berkisar antara 28-31oC. Dilokasi dimana penaikan air (upwelling) terjadi, misalnya di Laut Banda, suhu air permukaan dapat turun sampai sekitar 25oC ini disebabkan karena air yang dingin pada lapisan bawah terangkat ke atas.

Suhu air didekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi dari pada yang di lepas pantai. Pantai laguna yang dangkal atau cekungan air yang tertangkap ketika air surut, suhu air mencapai lebih dari 35oC. Air dengan densitas yang rendah akan berada dilapisan atas dan air dengan densitas tinggi akan berada pada lapisan bawah.


Salinitas
Perubahan salinitas yang dapat mempengaruhi organisme terjadi di daerah pasang surut melalui dua cara. Pertama, karena di daerah pasang surut terbuka pada saat pasang turun dan kemudian digenangi air atau aliran akibat hujan lebat, sebagai akibat salinitas akan turun.

Kedua, adanya hubungan dengan genangan pasang surut yaitu daerah yang menampung air laut ketika pasang turun. Daerah ini dapat di genangi oleh air tawar yang mengalir masuk ketika hujan deras sehingga menurunnya salinitas, atau dapat memperlihatkan kenaikan salinitas terjadi jika penguapan sangat tinggi terjadi pada siang hari.

Fluktuasi salinitas di perairan untuk makrobentos intertidal tidak menyebabkan peningkatan rata-rata metabolisme di atas tingkat normalnya, karena makrobentos termasuk jenis organisme laut yang dapat menyesuaikan diri dengan habitat atau lingkungan yang di tempatinya.


Intesitas Cahaya
Intesitas cahaya mempengaruhi pola sebaran organisme. Ada sebagian organisme yang menyukai cahaya dengan intesitas cahaya yang besar, namun ada juga organisme yang lebih menyukai cahaya yang redup. Pada bagian bawah laut, cahaya matahari mempunyai pengaruh besar secara tidak langsung, yakni sebagai sumber energi untuk fotosintesis tumbuh-tumbuhan air dan fitoplankton.


Faktor-faktor Lain
Faktor lainnya yang berpengaruh bermacam-macam meliputi pH, persaingan antar organisme dan pemangsaan. Persaingan terjadi karena masing-masing individu berusaha untuk mendapatkan nutrisi, sehingga mempengaruhi pola penyebaran individu, demikian pemangsaan oleh organisme lain berpengaruh terhadap penyebaran organisme di daerah pasang surut. Selain itu, substrat yang berbeda-beda yakni pasir, lumpur dan batu menyebabkan perbedaan fauna dan struktur komunitas di daerah intertidal.


Baca selengkapnya...

Adaptasi Organisme Intertidal (Zona Pasang Surut)

Dalam bidang ekologi, adaptasi berarti suatu proses evolusi yang menyebabkan organisme mampu hidup lebih baik dibawah kondisi lingkungan tertentu dan sifat genetik yang membuat organisme menjadi lebih mampu untuk bertahan hidup.

Bentuk adaptasi adalah mencakup adaptasi struktural, adaptasi fisiologi, dan adaptasi tingkah laku. Adaptasi struktural merupakan cara hidup untuk menyesuaikan dirinya dengan mengembangkan struktur tubuh atau alat-alat tubuh kearah yang lebih sesuai dengan keadaan lingkungan dan keperluan hidup.

Adaptasi fisiologi adalah cara makhluk untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan penyesuaian proses-proses fisiologis dalam tubuhnya. Adaptasi tingkah laku adalah respon-respon hewan terhadap kondisi lingkungan dalam bentuk perubahan tingkah laku.

Kehidupan di daerah pasang surut sangat dipengaruhi oleh faktor fisik baik berupa substrat dan yang lainnya. Adapun adaptasi yang dilakukan moluska jenis Makrobentos pada substrat daerah pasang surut berupa adaptasi struktural, adaptasi fisiologi, adaptasi tingkah laku. Ketiga adaptasi tersebut diuraikan sebagai berikut.

Adaptasi Morfologi
Adaptasi morfologi yaitu dengan menggali substrat sampai kedalaman yang tidak dapat lagi dipengaruhi oleh gelombang yang lewat. Strategi ini banyak dilakukan oleh kerang besar sperti Tivela stultorum, kerang pismo. Beberapa hewan juga biasanya melengkapi dirinya dengan mengembangkang cangkang yang sangat berat, yang dapat menahan hewan tetap berada dalam substrat.

Kesulitan dari tipe adaptasi ini adalah adanya badai kuat yang dapat menimbulkan gelombang besar yang dapat menghentak hewan ini keluar dan terlempar ke pantai. Hal ini yang menyebabkan kerusakan katastrofik yang kadang-kadang terjadi pada bentuk ini.


Adaptasi Fisiologi
Adaptasi fisiologi misalnya adaptasi mengenai masalah pencegahan penyumbatan permukaan alat pernafasan oleh pasir yang tersuspensi. Untuk mencegahnya, saluran masuk pernafasan pada kerang pantai pasir sering dilengkapi dengan berbagai penyaring yang mencegah pasir masuk kedalamnya.


Adaptasi Tingkah Laku
Adaptasi tingkah laku dikakukan dengan kemampuan menggali dengan cepat, segera setelah gelombang yang lewat memindahkan hewan dari substrat. Mekanisme ini pada umumnya dilakukan oleh Annelida, karang kecil dan Crustacea.

Misalnya pada kepiting pasir dari famili Hippidae, dimana hewan-hewan ini mempunyai tubuh yang pendek dengan anggota tubuh yang telah dimodifikasi untuk menggali pasir dengan cepat. Segera setelah mereka tertarik dari substrat oleh gelombang yang lewat, meraka menggali kembali sebelum gerakan air membawa mereka keluar.


Baca selengkapnya...

Makrobentos Dan Tipe Substrat Berlumpur

Tipe substrat dasar perairan pesisir ditentukan oleh arus dan gelombang.  Disamping itu juga oleh kelandaian (slope) pantai.  Pada daerah pesisir dengan kecepatan arus dan gelombang yang lemah, substrat cenderung berlumpur. Daerah ini biasa terdapat di daerah muara sungai, teluk atau pantai terbuka dengan kelandaian yang rendah. Sedangkan pada daerah pesisir yang mempunyai arus dan gelombang yang kuat disertai dengan pantai yang curam, maka substrat cenderung berpasir sampai berbatu. 

Perbedaan utama dengan wilayah pesisir dengan substrat berpasir adalah pantai berlumpur tidak dapat berkembang dengan hadirnya gerakan gelombang.  Oleh karena itu, daerah pesisir dengan pantai berlumpur hanya terbatas pada daerah intertidal yang benar-benar terlindung dari aktivitas gelombang laut terbuka. Pantai berlumpur dapat berkembang dengan baik jika ada suatu sumber partikel sedimen yang berbutiran halus.

Ukuran partikel yang sangat halus disertai sudut dasar sedimen yang amat datar menyebabkan air didalam sedimen tidak mengalir keluar dan tertahan didalam substrat. Pantai berlumpur cenderung untuk mengakumulasi bahan organik, sehingga cukup banyak makanan yang potensial bagi organisme  pantai ini. Namun, berlimpahnya partikel organik yang halus yang mengendap didataran lumpur juga mempunyai kemampuan untuk menyumbat permukaan alat pernafasan.

Kebanyakan organisme yang menempati daerah berlumpur menunjukkan adaptasi dalam menggali dan melewati saluran yang permanen dalam substrat. Kehadiran organisme ditunjukkan oleh adanya berbagai lubang dipermukaan dengan ukuran dan bentuk yang berbeda. Ketika organisme berada di dalam substrat, mereka harus beradaptasi untuk hidup dalam keadaan anaerobik atau harus membuat beberapa jalan yang dapat mengalirkan air dari permukaan yang mengadung oksigen ke bawah. Makrobentos memiliki penyebaran yang lebih luas karena mampu beradaptasi dengan air tawar maupun air laut dengan tekstur sedimen lunak dan keras.


Baca selengkapnya...

Ekologi Intertidal (Pasang Surut)

Zona intertidal (pasang surut) merupakan daerah terkecil dari semua daerah yang terdapat di samudra dunia, dan merupakan pinggiran yang sempit sekali (hanya beberapa puluh meter) terletak diantara pasang tertingi dan surut terendah.

Susunan faktor-faktor lingkungan dan kisaran yang dijumpai di zona intertidal sebagian disebabkan zona ini berada di udara terbuka selama waktu tertentu dalam setahun. Kebanyakan faktor fisiknya menunjukkan kisaran yang lebih besar di udara daripada di air.

Keragaman faktor lingkungannya dapat dilihat dari perbedaan (gradient). Faktor lingkungan secara fisik mempengaruhi terbentuknya tipe atau karakteristik komunitas biota serta habitatnya. Sebagian besar gradien ekologi dapat terlihat pada wilayah intertidal yang dapat berupa daerah pantai berpasir, pantai berlumpur maupun pantai berbatu.

Perbedaan pada seluruh tipe pantai ini dapat dipahami melalui parameter fisika dan biologi lingkungan yang dipusatkan pada perubahan utamanya serta hubungan antara komponen abiotik (parameter fisika-kimia lingkungan) dan komponen biotik (seluruh komponen makhluk atau organisme) yang berasosiasi di dalamnya. Secara umum daerah intertidal sangat dipengaruhi oleh pola pasang dan surutnya air laut, sehingga dapat dibagi menjadi tiga zona. 

Zona pertama merupakan daerah di atas pasang tertinggi dari garis laut yang hanya mendapatkan siraman air laut dari hempasan riak gelombang dan ombak yang menerpa daerah tersebut backshore (supratidal), zona kedua merupakan batas antara surut terendah dan pasang tertinggi dari garis permukaan laut (intertidal) dan zona ketiga adalah batas bawah dari surut terendah garis permukaan laut (subtidal).

Sebagai akibat adanya perubahan kondisi pasang dan kondisi surut air laut dan akibat aktifitas ombak pantai, menyebabkan kondisi fisik pantai akan selalu berubah baik secara temporal maupun secara spasial. Perubahan secara temporal membuat kondisi fisik pantai akan berbeda dalam rentangan waktu jam, hari, bulan maupun tahun. Perubahan secara spasial membuat kondisi fisik pantai dapat berbeda-beda pada berbagai tempat sekalipun jaraknya cukup berdekatan.


Baca selengkapnya...

Makrobentos Daerah Tropis

Makrobentos merupakan salah satu kelompok fauna yang memegang peranan penting di zona intertidal pesisir pantai tropis. Komunitas makrobentos tersusun dari spesies yang secara relatif memiliki umur panjang, dan secara temporal dapat menyatu dengan berbagai jenis fluktuasi lingkungan.

Komunitas makrobentos merupakan komponen yang penting bagi ekosistem estuaria. Organisme ini meregulasi kondisi fisik dan kimiawi pada permukaan sedimen air, meningkatkan dekomposisi bahan organik, mendaur ulang nutrisi untuk proses fotosintesis, dan transfer energi melalui komponen jaring-jaring makanan.

Beberapa spesies bivalvia (Donax) yang berada pada zona pasang surut melakukan migrasi ke atas dan ke bawah mengikuti pasang surut air laut sesuai dengan kemiringan pantai. Donax berasosiasi dengan beberapa makrobentos kecil, seperti Terebra, dan Polichaeta kecil (Sigalion, Urothoe, Spio). Di atas garis pantai, kepiting dari berbagai genera (Cardisoma, Gecarcinus, Coenobita) terkadang dapat dijumpai mencari makan.

Perbandingan komposisi phyletic dari biota bentos pada garis lintang yang tinggi dengan garis lintang yang lebih rendah menggambarkan bahwa lebih banyak organisme epifauna pada komunitas bentik tropis dibandingkan dengan daerah dengan garis lintang yang lebih tinggi.


Baca selengkapnya...

Definisi Makrobentos

Makrobentos adalah hewan invertebrata yang dapat dilihat dengan mata telanjang dan hidup pada, di dalam, dan sekitar bebatuan di dasar perairan. Disamping itu, makrobentos juga didefinisikan sebagai hewan invertebrata, hidup di dalam atau pada sedimen atau substrat lain, berukuran besar dan dapat dilihat dengan mata telanjang, dan tertahan pada ayakan standar U.S. No. 30 (mess 0.595 mm).

Makrobentos juga sering didefinisikan bentos yang ukurannya cukup besar untuk tertahan pada ayakan dengan ukuran pori-pori 500 mikrometer (0,5mm). Makrobentos merupakan bentos yang berukuran lebih dari 1mm yang biasanya berupa siput, kepiting, tiram air tawar, kerang, dan termasuk larva serangga.

Berdasarkan jenis makanannya zoobentos (termasuk makrobentos) dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: filter feeder dan deposit feeder. Filter feeder atau suspension feeder adalah bentos pemakan material yang tersuspensi di dalam air, baik berupa zat organik maupun plankton dengan cara menyaring; yang termasuk ke dalam filter feeder adalah bivalvia, sponge, ascidians, dan cacing kipas. Hewan-hewan ini menggunakan cilia untuk menciptakan arus air sehingga memudahkan makanan untuk masuk ke dalam alat penyaring yang mereka miliki.

Kebanyakan filter feeder mengubur diri di dalam sedimen dan menonjolkan organ pencari makan di permukaan sedimen. Sedangkan yang dimaksud deposit feeder adalah bentos pemakan material organik yang terjebak di dalam sedimen baik berupa detritus maupun material organik yang lebih halus.

Bentos pemakan deposit langsung memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Deposit feeder biasanya merayap dan masuk ke dalam sedimen sambil mengaduk sedimen untuk mendapatkan makanan. Hewan-hewan yang termasuk ke dalam deposit feeder adalah seluruh cacing polychaeta, gastropoda, teripang, crustacean.


Baca selengkapnya...

Perbedaan Pembelahan Sel Secara Mitosis Dan Meiosis

Berikut ini akan diuraikan secara singkat perbedaan pembelahan sel secara mitosis dengan pembelahan sel secara meiosis :

1). Pembelahan sel secara mitosis berlangsung pada sel-sel somatis, baik pada sel yang haploid (n) maupun sel yang diploid (2n), berbeda dengan pembelahan sel secara meiosis yang berlangsung pada sel-sel perkembangbiakan (germinal cells) yang diploid (2n).

2). Pembelahan sel secara mitosis waktu berlangsungnya relatif singkat (beberapa jam), berbeda dengan pembelahan sel secara meiosis yang waktu berlangsungnya lama. Misalnya pada seorang pria berlangsung selama 24 hari sedangkan pada wanita bahkan sampai beberapa tahun.

3). Pembelahan sel secara mitosis pembelahan nukleus hanya berlangsung satu kali dengan menghasilkan dua buah nukleus anak, berbeda dengan pembelahan sel secara meiosis yang pembelahan nukleusnya berlangsung dua berturut-turut dengan menghasilkan empat buah nukleus anak.

4). Pembelahan sel secara mitosis tahap pembelahan sel didahului oleh satu periode S (sintesis DNA), berbeda dengan pembelahan sel secara meiosis yang kedua pembelahan sel secara berturutan hanya didahului oleh satu periode S (sintesis DNA).

5). Pembelahan sel secara mitosis setiap kromosom pada profase bersifat bebas, biasanya tidak membentuk pasangan. Berbeda dengan pembelahan sel secara meiosis pada profase I terbentuk pasangan-pasangan kromosom yang homolog (proses sinapsis).

6). Pembelahan sel secara mitosis tidak terdapat proses pindah silang (crossing over), berbeda dengan pembelahan sel secara meiosis yang pada setiap pasangan kromosom yang homolog sekurang-kurangnya terjadi sebuah pindah silang.

7). Pembelahan sel secara mitosis pada tahap metafase, kromosom (yang terdiri dari dua kromatida) berada sendiri-sendiri dibidang ekuator dan melekat pada benang-benang spindel dengan perantaraan kinetokor. Berbeda dengan pembelahan sel secara meiosis yang pada tahap metafase I terdapat pasangan-pasangan kromosom yang homolog pada bidang ekuator. Anggota pasangan tersebut melekat pada benang spindel yang berasal dari kutub sel yang berlawanan.

8). Pembelahan sel secara mitosis sentromer (kinetokor) membelah pada anafase dan kromatida bergeral menuju kearah kutub sel yang berlawanan. Akhirnya terbentuk dua buah nukleus anak dengan ploidi yang sama (n, 2n, dst) dengan nukleus semula. Berbeda dengan pembelahan sel secara meiosis, walaupun anggota pasangan kromosom yang homolog berpisah pada anafase I, namun sentromer (kinetokor) pada tahap ini belum membelah, sentromer baru membelah pada anafase II. Akhirnya terbentuk empat buah nukleus anak yang haploid (n).

9).  Pembelahan sel secara mitosis jumlah kromosom per nukleus tetap dipertahankan pada sel anak (misalnya tetap 2n). Berbeda dengan pembelahan sel secara meiosis jumlah kromosom per nukleus dikurangi sehingga setiap sel anak (gamet) memiliki jumlah kromosom setengah dari nukleus semula (dari 2n hingga n).

10). Pembelahan sel secara mitosis karyotipe sel anak identik dengan sel induk. Materi fenetik tetap konstan, kecuali jika ada mutasi (jarang). Berbeda dengan pembelahan sel secara meiosis yang karyotipe sel anak satu sama lain tidak mesti sama dan juga tidak perlu sama dengan sel induk. Hal yang demikian menyebabkan timbulnya variasi genetik.

Baca selengkapnya...

Perubahan-Perubahan Fisiologik Sistem Hematologik Pada Kehamilan

Pada kehamilan terjadi perubahan-perubahan hematologik yang dalam batas-batas tertentu adalah wajar: Perubahan hematologik yang menonjol ialah : a). Perubahan plasma darah, b). Perubahan sel-sel darah, c). Akibat perubahan kedua hal tersebut akan timbul anemia fisiologik.

a). Perubahan plasma darah.
Pada kehamilan volume plasma darah akan mengalami kenaikan. Kenaikan volume plasma darah dimulai pada 3 bulan kehamilan, yang berangsur-angsur meningkat sampai mencapai kenaikan maksimal pada umur kehamilan 32-34 minggu. Setelah umur kehamilan 32-34 minggu volume plasma darah kemudian menurun, dan akan mencapai volume normal setelah 3 minggu persaIinan.

Bila kehamilan sudah mencapai genap bulan, maka volume plasma darah mengalami kenaikan sebesar 45% dari keadaan sebelum hamil: Kenaikan plasma ini adalah akibat rangsangan laktogen placenta yang menimbulkan kenaikan sekresi aldosteron.

Dalam kehamilan, volume plasma darah memang harus meningkat guna memenuhi kebutuhan cairan plasma pada rahim yang membesar, disertai juga dengan pembesaran pembuluhpembuluh darahnya. Selain itu kenaikan cairan plasma ini diperlukan guna menjaga keseimbangan hemodinamik, pada posisi tidur atau berdiri dan mengimbangi hilangnya cairan darah pada waktu persalinan.

b). Perubahan sel-sel darah.
Dimulai pada umur kehamilan 8 minggu, jumlah lekosit meningkat secara progresif sampai aterm. Pada pemeriksaan darah tepi akan ditemukan mielosit dan metamielosit, sebagai akibat lekositosis ini: Bila pada kehamilan didapatkan jumlah lekosit 10:000-15.000, hal ini wajar.

Trombosit akan mengalami kenaikan selama kehamilan. Beberapa penyelidik lain mengatakan bahwa jumlah trombosit tetap, bahkan sedikit lebih rendah dibanding dengan sebelum hamil. Namun yang jelas iaIah pada waktu pasca persalinan jumlah trombosit justru meningkat. Pada umur kehamilan 6 bulan, mulai terjadi kenaikan eritrosit dan mencapai puncak pada kehamilan aterm, yang akhirnya kembali normal setelah 6 minggu persaIinan.

d). Anemia fisiologik
Peningkatan volume plasma darah ternyata tidak seimbang dengan kenaikan jumlah eritrosit. Dalam perkembangan kejlaeubihhamilan, ternyata kenaikan volume plasma darah tinggi dari kenaikan eritrosit: Bila kenaikan volume plasma mencapai 35-55 %, maka kenaikan eritrosit hanya 15-30 %. Akibatnya terjadi pengenceran sel-sel eritrosit yang cukup besar, khususnya pada umur kehamilan 32-34 minggu sehingga secara relatip kadar Hb menjadi rendah.

Peristiwa pengenceran ini disebut "hydraemia", " pseudo anemia " atau lazim disebut "anemia fisiologik". Pada keadaan hemodilusi ini, kadar Hb dapat mencapai penurunan sampai 10%, yang masih dapat dianggap fisioIogik. Sebenarnya, mengenai masaIah hemodilusi atau pseudo anemia ini masih banyak pertentangan pendapat.

Banyak ahIi yang berpendapat bahwa apa yang dianggapnya sebagai hemodilusi sebenarnya adalah benar-benar suatu manifestasi defisiensi zat besi. Hal ini disebabkan karena memang banyak wanita hamil yang sejak permulaan sudah mengalami anemia defisiensi besi. Sebagai contoh, di negeri Inggris, 20% wanita hamil sudah mengalami defisiensi zat besi sejak mulai
Hamil.

Para penyelidik lain menentang pendapat ini dengan mengatakan bahwa pada anemia fisiologik tidak terjadi perubahan mikrositosis atau anisositosis, serta tidak terjadi penurunan zat besi serum. Lagi pula sering terjadi bahwa pemberian zat besi pada anemia fisiologik tidak menghasilkan peningkatan kadar Hb. tetapi begitu selesai persalinan justru terjadi kenaikan kadar Hb Pendapat terakhir para ahIi menyetujui bahwa pada anemia fisiologik sebaiknya tetap diberi tambahan zat besi karena pemberian zat besi ini tidak merugikan.

Disadur Dari : Cermin Dunia Kedokteran No. 19, 1980


Baca selengkapnya...

Tanya Jawab Mengenai HIV/AIDS

Di bawah ini ada beberapa pertanyaan yang sering membayangi kita seputar HIV/AIDS yang mungkin berguna bagi pembaca sekalian.

1). Mengapa penularan HIV paling mudah pada pria homoseksual?
Faktor risiko seksual yang paling besar untuk infeksi HIV adalah hubungan seks reseptif/pasif anal. Hal ini disebabkan karena mukosa rektum lebih tipis daripada mukosa vagina, hingga mudah terjadi luka. Melalui luka ini HIV yang berada dalam semen (sperma) masuk ke dalam aliran darah. Selain pria homoseksual, pada wanita heteroseksual yang melakukan hubungan seks anal, insidens infeksi HIV dua kali lebih tinggi daripada yang tidak melakukan hubungan seks anal.

Pada pria homoseksual yang melakukan hubungan seks insertif/aktif anal, risiko infeksi HIV lebih kecil daripada yang reseptif/pasif anal. Pada mereka penularan HIV terjadi karena HIV yang berada dalam darah yang keluar dari luka-luka di rektum, masuk tubuh melalui uretra yang meradang karena penyakit menular seksual, atau melalui lesi pada penis.

2). Apakah seorang lesbian bisa ketularan HIV?
Seorang lesbian bisa ketularan HIV, karena suntikan obat bius intravena dengan jarum sumac yang dipakai bergantian dengan orang lain. Penularan selanjutnya ke partner lesbiannya terjadi, bila partnernya melakukan cunnilingus (hubungan seks oro-genital). Selain cunnilingus lesbian juga melakukan masturbasi bersama, kadang-kadang dengan alat permainan seks, yang dapat menyebabkan perdarahan dan penularan HIV.

3). Apakah HIV dapat ditularkan melalui ciuman mulut dengan mulut?
Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa HIV lebih jarang ditemukan dalam saliva daripada dalam darah. Selain itu eksperimen-eksperimen lain menunjukkan, bahwa saliva mengandung zat-zat yang menginaktivasi HIV in vitro. Sampai sekarang belum terbukti, bahwa ciuman mulut dengan mulut dapat menularkan HIV. Walaupun demikian, deep kissing dengan kemungkinan perdarahan kecil akibat gigitan, sebaiknya tidak dilakukan, karena teoretis mengandung risiko penularan.

4). Apakah HIV dapat ditularkan melalui nyamuk?
Nyamuk tidak menularkan HIV karena :
a) HIV tidak berkembang biak dalam sel nyamuk
b) HIV tidak bermigrasi dari usus ke kelenjar liur nyamuk
c) Jumlah darah dan jumlah HIV yang dihisap nyamuk terlalu sedikit.

Diperkirakan bahwa untuk menimbulkan infeksi HIV diperlukan paling sedikit 0,1 ml darah.
Bukti epidemiologis bahwa nyamuk tidak menularkan HIV, ialah :

a) Distribusi umur dan jenis kelamin dari orang-orang yang terinfeksi HIV di Afrika khas untuk penyakit menular seksual. Bila nyamuk menularkan HIV, insidens pada anak dan orang tua akan sama atau lebih tinggi dari pada orang-orang yang berumur 20-40 tahun.

b) Orang-orang yang hidup serumah dengan seorang yang terinfeksi HIV tidak terinfeksi, kecuali suami/isteri atau anak dari ibu yang terinfeksi HIV.

5). Gejala-gejala apa yang mencurigakan AIDS?
Pertama-tama perlu diingat bahwa kasus-kasus AIDS terutama ditemukan pada orang-orang dari kelompok risiko tinggi, yaitu pria homo dan biseksual, pecandu obat bius intravena yang menggunakan jarum/alat suntik secara bergantian, penderita hemofilia yang sering mendapat transfuse faktor VIII dan IX, penerima transfusi darah atau komponen darah, wanita dan pria tuna susila, orang heteroseksual dengan banyak mitra seksual, partner seksual dari orang-orang tersebut di atas dan anak yang dilahirkan oleh ibu yang terinfeksi HIV.

Pada orang dewasa AIDS dapat diduga bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan paling sedikit satu gejala minor, tanpa sebab imunosupresi lain yang diketahui, seperti kanker, malnutrisi atau penyebab lain.

Gejala mayor  AIDS :
a. penurunan berat badan lebih dari 10%
b. demam lebih dari satu bulan (intenmiten atau kontinu)
c. diare kronik lebih dari satu bulan.

Gejala minor AIDS :
a. batuk lebih dari satu bulan
b. dermatitis pruritik generalisata
c. herpes zoster rekuren
d. kandidiasis orofaring
e. herpes simplex diseminata yang kronik, progresif
f. limfadenopati generalisata

Terdapatnya sarkoma Kaposi generalisata atau meningitis cryptococcus saja sudah cukup untuk diagnosis AIDS. Diagnosis kemudian perlu dikonfirmasi dengan tes ELISA dan Western Blot.

6). Mengapa sampai sekarang belum ada vaksin untuk infeksi HIV?
Usaha untuk membuat vaksin yang efektif terhadap HIV mengalami beberapa kesulitan.

a) Sampai sekarang belum ditemukan komponen virus yang merangsang imunitas yang protektif pada manusia.

b) Tidak ada binatang percobaan untuk menyelidiki infeksi HIV dan AIDS. Chimpanzee binatang satu-satunya yang dapat ditulari oleh HIV. Pada binatang ini terjadi infeksi khronis dan respons imun yang mirip dengan yang terjadi pada manusia, tetapi tidak terjadi penyakit AIDS.

Oleh karena itu chimpanzee dapat dipakai sebagai model untuk mengembangkan vaksin yang mencegah infeksi HIV, tetapi tidak dapat dievaluasi apakah vaksin ini dapat mencegah penyakit AIDS pada orang yang sudah terinfeksi. Selain itu kesulitan untuk mendapatkan binatang ini dan biaya, perawatan yang tinggi menyebabkan binatang ini kurang ideal.

c) Evaluasi efektivitas suatu vaksin mempunyai beberapa kesukaran, yaitu :

1). Tidak ada indikator dari imunitas protektif, karena tidak ada korelasi antara pembentukan atau menurunnya imunitas dan permulaan atau progresi penyakit.

2). Lamanya waktu antara permulaan infeksi HIV dan tim timbulnya gejala-gejala penyakit AIDS.

3). Karena kelompok vaksin maupun kelompok plasebo diinstruksikan untuk mencegah infeksi HIV, waktu yang diperlukan untuk membuktikan efektivitas vaksin akan lama.

Disadur Dari : Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

Baca selengkapnya...

Pencegahan HIV/AIDS

Sesuai dengan sifat dan cara penularan AIDS itu sendiri, maka pencegahan AIDS relatif mudah, yaitu menghindari pemakaian jarum suntik secara tidak semestinya dan menghindari hubungan seks yang berisiko tinggi.

Pencegahan penularan AIDS melalui jarum suntik di jalur profesi kedokteran dapat dilaksanakan dengan peningkatan profesionalisme setiap dokter dan paramedik. Sedangkan pencegahan AIDS melalui jalur penyalahgunaan narkotika cukup dilaksanakan melalui program penanggulangan narkotika yang di Indonsia sudah dikoordinasikan langsung oleh Badan Koordinasi Penanggulangan Narkotika (Bakorlantik).

Pencegahan AIDS melalui jalur seks, pada hakikatnya juga tidak sukar, karena asasnya tidak berbeda dengan ajaran norma agama yang diyakini masyarakat, yaitu bahwa seks yang aman dari AIDS adalah seks dengan pasangan tunggal yang setia (seks monogami). Akan tetapi pengawasan dan pengendalian bidang seks ini jauh lebih sulit daripada dalam bidang penyalahgunaan narkotika.

Karena itu lebih banyak diperlukan penyuluhan agar orang tetap melakukan seks yang sehat walaupun menyimpang dari asas monogami tersebut (memakai kondom, hanya berhubungan dengan orang yang diketahui kesehatannya, memeriksakan diri ke dokter, mengikuti nasihat dokter dan sebagainya). Usaha itu bukan usaha khusus untuk AIDS, melainkan bisa juga ditujukan untuk setiap jenis PMS (Penyakit Menular Seksual) yang lain, sebab setiap pencegahan PMS dengan sendirinya akan mencegah AIDS.

Dalam kampanye anti PMS ini mungkin diperlukan bantuan berbagai tenaga ahli: psikolog, sosial, ahli komunikasi massa, ahli sosiologi, antropolog, ahli kesehatan masyarakat, para pendidik, ulama dan para ahli di bidang ilmu kedokteran sendiri. Adapun sasarannya adalah setiap anggota masyarakat yang diduga secara seksual telah aktif (termasuk remaja), khususnya yang tergolong kelompok-kelompok risiko tinggi.

Disadur Dari : Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

Baca selengkapnya...

Penularan HIV/AIDS

Penularan HIV/AIDS terjadi melalui :

1). Hubungan kelamin (homo maupun heteroseksual).

2). Penerimaan darah dan produk darah.

3). Penerimaan organ, jaringan atau sperma

4). Ibu kepada bayinya (selama atau sesudah kehamilan).

Kemungkinan penularan HIV/AIDS melalui hubungan kelamin menjadi lebih besar bila terdapat penyakit kelamin, khususnya yang menyebabkan luka atau ulserasi pada alat kelamin. HIV telah diisolasi dari darah, sperma, air liur, air mata, air susu ibu, dan air seni, tapi yang terbukti berperan dalam penularan hanyalah darah dan sperma.

Hingga saat ini juga tidak terdapat bukti bahwa AIDS dapat ditularkan melalui udara, minuman, makanan, kolam renang atau kontak biasa (casual) dalam keluarga, sekolah atau tempat kerja. Juga peranan serangga dalam penularan AIDS tidak dapat dibuktikan. Risiko bagi petugas kesehatan untuk mendapat AIDS adalah sangat kecil. Tata kerja yang dilaksanakan untuk mencegah infeksi pada umumnya, misalnya terhadap hepatitis B adalah lebih dari cukup untuk menghindari penularan AIDS. Terhadap kemungkinan infeksi dari darah dan beberapa cairan tubuh lainnya perlu dilakukan universal precautions.

Disadur Dari : Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

Baca selengkapnya...

Tentang Virus HIV/AIDS

Penyebab AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu retrovirus yang sejak tahun 1986 disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV) atas rekomendasi dari International Committee on Toxonomy of Viruses. Nama ini mengganti llama lama, yaitu Lymphadenopathy Associated Virus (LAV) yang diberikan oleh L. Montagnier dan Institut Pasteur di Paris dan Human T-Lymphocyte Virus Type III (HTLV-III) yang diberikan oleh R. Gallo dari US National Cancer Institute.

Bila masuk ke dalam tubuh, HIV akan menyerang sel darah putih, yakni limfosit T4 yang mempunyai peranan penting sebagai pengatur sistem imunitas. HIV mengadakan ikatan dengan CD4 receptor yang terdapat pada permukaan limfosit T4. Kini diketahui bahwa virus ini juga dapat langsung merusak sel-sel tubuh lainnya yang mempunyai CD4 a.l. sel glia yang terdapat di otak, makrofag dan sel Langerhans di kulit, saluran pencemaan dan saluran pernapasan.

Suatu enzim, reverse transcriptase mengubah bahan genetik virus (RNA) menjadi DNA yang bisa berintegrasi dengan sel dari hospes. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik virus. Infeksi oleh HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup.

Di Afrika Barat dan Eropa Barat telah ditemukan pula suatu retrovirus lain, yakni HIV-2 yang juga dapat menyebabkan AIDS. Virus ini mempunyai perbedaan cukup banyak dengan HIV-1, batik genetik maupun antigenetik, sehingga tidak bisa dideteksi dengan tes serologik yang biasa dipakai. HIV-2 ter- nyata mempunyai banyak persamaan dengan SIV (Simian Immunodeficiency Virus) yang terdapat pada kera, termasuk kera Macacus di Indonesia dan kera hijau Afrika. Ditemukannya HIV-2 akan mempersulit penanggulangan AIDS karena mempunyai implikasi untuk diagnostik, staining donor dan pengembangan vaksin.

Disadur Dari : Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 1992

Baca selengkapnya...