Vaksin HIV (Human Immunodeficiency Virus) Eksperimental

HIV merupakan anggota familia retrovirus yaitu virus berselubung yang mempunyai ensim reverse transcriptase, enzim yang mampu mensintesis kopi DNA dari genom RNA. Bagian paling infeksius dari virus HIV adalah selubung glikoprotein gp 120 (BM 120.000 kd) dan gp 41 (BM 41.000 kd) yang sangat berperan pada ikatan HIV dengan sel hospes pada proses infeksi.

Mekanisme utama infeksi HIV adalah melalui perlekatan selubung glikoprotein virus (gp 120) pada molekul CD4, yang merupakan reseptor permukaan dengan afinitas paling tinggi terhadap selubung virus tersebut. Partikel virus HIV yang telah berikatan kemudian masuk ke dalam sel hospes melalui fusi antara membran virus dengan membran sel hospes dengan bantuan gp 41, yang terdapat pada permukaan membran virus.

Meskipun belum ditemukan vaksin HIV yang benar-benar efektif dan aman untuk manusia, namun beberapa tipe vaksin HIV telah diuji secara eksperimental, di antaranya; vaksin utuh yang diinaktivasi, virus rekombinan hidup, virus yang dilemahkan, peptida sintetik dan antibodi anti idiotip.

1). Virus utuh yang diinaktivasi
Inaktivasi virus HIV tipe I dan SIV (Simian Immunodeficiency Virus) dilakukan dengan radiasi dan menambahkan formaldehid. Prosedurnya sama dengan vaksin polio yaitu inaktivitasi genon retrovirus dan melepaskan gp 120 dari selubung virus HIV tipe I dan SIV non infeksius tersebut digunakan sebagai vaksin, dan telah dilakukan uji fase I pada tahun 1988-1989.

2). Selubung glikoprotein yang diklon
Beberapa peneliti telah melakukan teknologi rekayasa genetika untuk mengklon gen gp 120 atau gen gp 160 untuk menghasilkan sejumlah besar gp 120 dan gp 160 yang digunakan untuk imunisasi. Vaksin dari klon gp 160 yang pertama telah diuji pada bulan September 1987 pada 140 sukarelawan seronegatif yang sehat, dan ternyata antibodi yang ditimbulkan dapat menghambat replikasi virus secara in vitro, akan tetapi hambatan ini bersifat spesifik terhadap strain virus yang digunakan.

Uji klinis fase I vaksin gp 120 hasil rekayasa genetika dilakukan pada tahun 1993. Satu keterbatasan vaksin ini adalah merupakan glikoprotein terlarut yang diproses sebagai antigen eksogen, oleh karena itu tidak cukup merangsang respon sel T sitotoksik (sel T CD8+). Untuk merangsang sel T sitotoksik yang spesifik terhadap gp 120 atau gp 160, maka antigen harus diproses dan dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I.

3). Virus yang dilemahkan
Vaksin virus yang dilemahkan dibuat dengan menumbuhkan virus hidup pada kondisi kultur yang tidak biasa, sehingga merangsang virus untuk bermutasi supaya tetap hidup pada kondisi yang baru. Kebanyakan vaksin virus yang digunakan saat ini adalah virus yang dilemahkan.

Karena virus ini hidup, maka dapat menginfeksi sel dan tumbuh dalam waktu yang terbatas sampai respon imun mampu menghilangkan virus tersebut. Vaksin virus yang dilemahkan cenderung menghasilkan respon sel memori yang baik yang akan memberikan imunitas jangka panjang.

4). Virus rekombinan yang membawa gen HIV
Vaksin vektor rekombinan merupakan pendekatan lain dalam upaya mendapatkan vaksin AIDS yang efektif. Virus vaccinia dan virus polio Sabin dapat direkayasa untuk membawa gen HIV tipe 1, sehingga virus tersebut kemudian dapat digunakan sebagai vaksin. Karena virus rekombinan ini dilemahkan dan tidak diinaktifkan, maka dapat menginfeksi sel hospes dan diharapkan dapat merangsang aktivitas sel T sitotoksik.

Seperti vaksin virus yang dilemahkan lainnya, paparan yang lama terhadap antigen virus cenderung merangsang respon imun yang baik tanpa perlu tambahan booster. Sejumlah gen HIV yang bisa direkayasa pada virus vaccinia adalah gen env, tat, pol dan gag.

5). Molekul CD4 yang diklon
Sejumlah laboratorium telah berhasil mengklon molekul CD4 dan menggunakan sebagai vaksin untuk menghambat infeksi HIV. Karena gp 120 berikatan dengan molekul CD4 dengan afinitas yang tinggi, maka diharapkan molekul CD4 terlarut ini dapat berikatan secara efektif dengan gp 120 HIV, sehingga dapat menghambat ikatan virus dengan sel hospes. Percobaan secara in vitro menunjukkan bahwa molekul CD4 terlarut selain dapat menghambat ikatan HIV dan infeksi sel limfosit T, juga menghambat pembentukan sinsitia (sel rekayasa multinuklear).

6). Antibodi anti-idiotip
Pendekatan vaksin yang sangat baik adalah dengan antibodi anti-idiotip yang bersifat spesifik terhadap antigen binding-site (paratop) dari antibodi anti HIV. Pendekatan ini dapat digunakan apabila vaksin virus yang dilemahkan atau dimatikan memberikan efek samping yang tidak diharapkan atau tidak dapat diatasi.

Apabila antibodi anti-idiotip ini diberikan pada hewan percobaan, maka hewan tersebut akan membuat antibodi terhadap bindingsite pada antibodi antiidiotip tersebut, yang disebut sebagai antibodi anti-idiotip yang dapat berikatan dengan antigen asal. Dengan demikian hewan percobaan tersebut menjadi kebal terhadap antigen tanpa
terpapar antigen, hanya terpapar antibodi anti-idiotip.

Vaksin yang diusulkan saat ini adalah kombinasi vaksin subunit yang berasal dari selubung virus HIV dan vaksin vektor rekombinan hidup. Kombinasi vaksin tersebut diharapkan dapat merangsang respon antibodi dan menimbulkan respon sel T sitotoksik (CTL). Pendekatan ini dikenal sebagai prime boost yaitu vektor rekombinan yang merangsang respon imunitas seluler awal dan vaksin subunit sebagai booster yang merangsang respon antibodi.

Di beberapa negara yaitu Amerika Serikat, Karibia dan Brasilia akan dilakukan uji fase III vaksin HIV, yaitu vaksin canarypox ALVAC dan gp 120 sebagai vaksin kombinasi. Vaksin rekombinan canarypox ALVAC mengandung gen, gag, env dan komponen protease yang mampu menimbulkan aktivitas CTL terhadap target isolat dan terhadap sel yang diinfeksi berbagai sub tipe HIV tipe 1. Tujuan uji fase III ini untuk mengetahui tingkat aktivitas CTL dan antibodi yang dicapai untuk mencegah infeksi HIV dan mengurangi penyakit.

Disadur Dari : Cermin Dunia Kedokteran No. 130, 2001

Tulisan terkait