Kendala Pengembangan Vaksin HIV (Human Immunodeficiency Virus)

HIV merupakan anggota familia retrovirus yaitu virus berselubung yang mempunyai ensim reverse transcriptase, enzim yang mampu mensintesis kopi DNA dari genom RNA. Bagian paling infeksius dari virus HIV adalah selubung glikoprotein gp 120 (BM 120.000 kd) dan gp 41 (BM 41.000 kd) yang sangat berperan pada ikatan HIV dengan sel hospes pada proses infeksi.

Mekanisme utama infeksi HIV adalah melalui perlekatan selubung glikoprotein virus (gp 120) pada molekul CD4, yang merupakan reseptor permukaan dengan afinitas paling tinggi terhadap selubung virus tersebut. Partikel virus HIV yang telah berikatan kemudian masuk ke dalam sel hospes melalui fusi antara membran virus dengan membran sel hospes dengan bantuan gp 41, yang terdapat pada permukaan membran virus.

Salah satu upaya untuk mencegah infeksi HIV dan mengurangi penyakit adalah dengan mengembangkan vaksin yang efektif dan aman. Untuk itu diperlukan pengetahuan tentang beberapa hal yaitu : agen yang infeksius, karakterisasi respon imun terhadap agen tersebut dan determinasi apakah respon imun yang ditimbulkan tersebut cukup protektif. Selain itu vaksin yang dibuat harus dites pada hewan yang sesuai untuk memastikan bahwa vaksin tersebut aman.

Vaksin juga harus melalui tiga fase uji klinis pada manusia yaitu fase I dan II dilakukan untuk mengevaluasi keamanan, dosis dan imunogenitas vaksin, sedangkan fase III dilakukan untuk mengetahui efektivitas vaksin

Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengembangkan vaksin HIV, namun sampai saat ini belum ditemukan vaksin HIV yang benar-benar efektif dan aman. Kandidat vaksin HIV dari virus hidup yang dilemahkan belum memberikan hasil yang baik dan aman pada hewan percobaan, meskipun pada penyakit lain jenis vaksin tersebut memberikan hasil yang memuaskan. Pembuatan vaksin HIV dari virus yang dimatikan mengalami kesulitan terutama dalam menginaktivasi virus tersebut tanpa membuka selubung glikoprotein.

Beberapa kendala yang menghambat pengembangan vaksin HIV adalah :

1). Belum diketahuinya tipe respon imun yang protektif terhadap HIV apakah respon imun humoral atau seluler. Pada infeksi virus lainnya ternyata respon imun humoral mampu mencegah terjadinya infeksi. Oleh karena itu sebelum mekanisme imunitas protektif terhadap HIV diketahui dengan baik, para peneliti tidak memfokuskan penelitiannya pada satu tipe respon imun saja.

Diketahuinya daerah V3 pada gp 120 (protein permukaan virus) sebagai neutralizing domain mendorong pengembangan vaksin dari selubung virus rekombinan, dengan tujuan untuk merangsang antibodi yang mampu menetralisasi virus. Narnun sayangnya vaksin jenis ini cenderung menghasilkan antibodi yang spesifik terhadap strain virus yang digunakan.

2). Virus HIV selalu mengalami mutasi dan merubah glikoprotein permukaan untuk menghindari respon imun. Seperti halnya virus lain, perubahan antigen merupakan hambatan utama pengembangan vaksin HIV. Tantangan yang dihadapi para peneliti adalah mengembangkan vaksin tunggal atau yang efektif terhadap perubahan antigen pada strain virus HIV.

3). Transimisi seksual merupakan cara penularan virus HIV yang penting, oleh karena itu perlu dicegah penularan virustersebut melalui permukaan mukosa. Strategi pengembangan vaksin yang merangsang imunoglobulin A (IgA) anti HIV menjadi sangat penting untuk merangsang respon imun anti HIV yang protektif.

4). Tidak dijumpainya respon imun yang efektif terhadap virus HIV. Respon imun yang ditimbulkan dapat menekan virus, tetapi tidak dapat menghilangkan replikasi virus. Peredaran virus melalui jaringan limfoid dan adanya deplesi limfosit T CD4+ secara gradual menyebabkan ketidakmampuan surveilan respon imun.

5). Tidak adanya model hewan percobaan yang sesuai. Simpanse dan kera makaka merupakan model hewan alami untuk infeksi virus HIV tipe 1. Meskipun HIV dapat menyebabkan infeksi yang menetap pada simpanse tetapi tidak menyebabkan defisiensi imunitas.

Pengujian vaksin HIV pada simpanse hanya ditekankan pada adanya hambatan replikasi virus, daripada manifestasi imunodefisiensi. Berdasarkan beberapa peneliltian ternyata mencit yang dibuat imunodefisien (scid-human mice) terbukti dapat digunakan sebagai model hewan percobaan untuk mengetahui mekanisme imunosupresi pada AIDS, untuk evaluasi obat yang potensial dan untuk terapi vaksin.

Disadur Dari : Cermin Dunia Kedokteran No. 130, 2001

Tulisan terkait